Kempo dan Budhisme
Doshin So
Pencipta Shorinji Kempo
Sekilas orang berkesimpulan bahwa bela diri Kempo berasal dari daratan
China. Anggapan ini tidaklah semuanya benar. Kira-kira tahun 550 SM, pendeta Buddha yang ke-28,
Dharma Taishi, pindah dari tempat tinggalnya di Baramon, India ke daratan China. Beliau menetap di sebuah kuil yang berada di Bukit Siong San. Kuil itu diberi nama
Siau Liem Sie atau dikenali dengan nama
Shaolin yang terletak di
Provinsi Kwa Nam.
[4].
Dalam perjalanan dan pengembaraannya selama menyebarkan ajaran agama Budha, Dharma Taishi sering mendapatkan tantangan, ancaman dan hinaan, bahkan nyaris hampir merenggut jiwanya. Dari pengalaman-pengalaman tersebut timbulah anggapan dalam dirinya bahwa seorang calon bhiksu sebaiknya juga melatih ketahanan jasmaninya, disamping membersihkan rohaninya untuk mencapai
nirwana setelah bersemedi. Dalam ajaran agama Budha, dikatakan bahwa hidup itu berasal dari "kosong" atau "tiada". Namun oleh Dharma Taishi dilengkapinya, bahwa tidak ada gunanya menjadi "kosong" atau "tiada" atau "suci" jika tidak bisa membela sesama manusia yang ditimpa kemalangan.
Sebelumnya selama di India, Dharma Taishi pernah belajar Indo-Kempo (bela diri India), karena banyaknya tantangan yang dihadapi dalam pengembaraannya di Cina maka ia mempelajari pula berbagai aliran silat China Kuno. Selama bertapa 9 tahun ia bertekad menyusun ilmu bela diri yang akan dimasukkan sebagai syarat dan mata pelajaran bagi calon pendeta Budha. Sejak itu ilmu beladiri yang ditemukannya telah menjadi bagian pendidikan keagamaan yang bersumber pada
Zen Budhisme. Dharma tetap beranggapan bahwa semua pengikutnya haruslah berfisik kuat guna melanjutkan usaha menyebarluaskan ajaran agama Budha yang cukup berat itu.
Dalam cerita klasik Cina, sering dijumpai nama
Tat Mo Cowsu, nama ini tidak lain yang dimaksud adalah Dharma Taishi sendiri, yang menciptakan seni beladiri Shorinji Kempo atau Siauw Liem Sie Kung Fu.
[4][5]
Pada tahun
1900-
1901, di Cina meletus perlawanan rakyat menentang masuknya kolonialisme barat. Pemberontakan di awal abad ke 20 itu akhirnya menjadi gerakan nasional yang disokong Ratu Tze Sji, yang juga ingin membersihkan tanah airnya dari penjajahan Barat.
Kolonalisme Barat akhirnya dapat mematahkan perlawanan rakyat Cina dengan menggunakan peralatan perang mutakhir. Sementara rakyat Cina kebanyakan hanya melawan dengan mengandalkan tangan dan kaki saja. Perang yang menelan jutaan korban itu terkenal dengan sebutan
Perang Boxer[6]. Penjajah mengejar dan membunuh para pengikut Dharma Taishi kemudian melarang organisasinya dan membakar kuil-kuil shaolin.
Bhiksu-bhiksu yang sempat meloloskan diri ke arah timur dan selatan, lalu mengajarkan aliran Shorinji Kempo kepada pedagang-pedagang dari Okinawa, Taiwan dan Muangthai (sekarang:
Thailand). Karena tidak teroganisasinya kesatuan, maka penyebaran Shorinji Kempo mulai membentuk seni bela diri baru.
Mereka yang melarikan diri ke Muangthai dengan hanya menguasai teknik Goho
[7] (memukul, menendang dan menangkis) mempengaruhi perkembangan bela diri yang ada di negeri tersebut, termasuk
Thai Boxing. Ajaran Shorinji Kempo, terutama teknik Goho, juga mempengaruhi seni bela diri yang ada di
Okinawa,
Jepang. Maka di Okinawa timbullah seni bela diri yang dinamakan
Okinawate yang kemudian dkenal dengan nama
Karate.
Mereka yang melarikan diri ke pulau-pulau Jepang lainnya dan hanya menguasai teknik Juho
[8] (lipatan, kuncian dan bantingan) juga mempengaruhi munculnya seni bela diri yang ada di daerah-daerah tersebut antara lain
Jujutsu,
Aikido dan
Judo.
[sunting]Kempo setelah Perang Dunia Kedua
Shorinji Kempo mulai dikembangkan di
Jepang setelah usainya
Perang Dunia Kedua. Berawal dari seorang pemuda Jepang yang bernama
Doshin So. Pada tahun
1928 Doshin dikirim ke Cina dalam pasukan ekspedisi tentara Jepang ke
Manchuria. Karena ia tidak sepaham dengan cara-cara penjajahan Jepang, kemudian melarikan diri dari pasukannya dan mengembara di daratan
Tiongkok.
Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan pendeta Budha dan akhirnya ia dibawa ke Kuil Siaw Liem Sie, yang sudah diperbaiki oleh penerus-penerus Dharma Taishi. Di kuil ini Doshin So mempelajari ilmu Shorinji Kempo langsung dibawah asuhan mahaguru (sihang) ke-20 yaitu 'Wen Tay Sun. Karena kesetiaannya dan penguasaannya yang sempurna terhadap Shorinji Kempo, maka Doshin So dipercaya menjadi mahaguru ke-21 dan ia memperoleh ijin untuk meninggalkan kuil Shorinji untuk meneruskan ajarannya di daratan Jepang.
Tahun
1945, Doshin So kembali ke Jepang dan membuka Dojo (tempat latihan) tersendiri. Ia memilih kota Tadotsu, yang terletak di
Provinsi Kagawa di
Pulau Shikoku. Saat ini dikenal sebagai pusat Shorinji Kempo dunia.
Doshin So menggembleng murid-muridnya dengan disiplin yang keras seperti yang dialaminya sendiri. Namun di balik penggemlengan fisik dan mental itu, Guru Besar Shorinji Kempo ini tetap menempatkan seni beladiri ini sebagai pengayom hati dan jiwa dengan penuh rasa damai dan welas asih bagi para pengikutnya. Sebab itulah lambang organisasi Shorinji Kempo menggunakan simbol agama Budha, yaitu
Manji, semacam tanda
swastika yang berputar ke kiri, yang berarti "kasih sayang dan kekuatan" yang sesuai dengan doktrin Shorinji Kempo.
Dalam tindakan sehari-hari sering diartikan sebagai berikut : "Dimana ada kekuatan harus ada kebijaksanaan dan kebijaksanaan harus disertai kebijaksanaan"
[sunting]Falsafah Kempo
Karena seni bela diri kempo waktu itu menjadi bagian dari latihan bagi para calon
bhiksu, dengan sendirinya ilmu itu harus mempunyai dasar falsafah yang kuat. Dengan dilandasi agama
Budha, yaitu tidak boleh membunuh dan menyakiti, maka semua
kenshi (pemain Kempo) dilarang menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal ini menjadi doktrin Kempo, bahwa "perangilah dirimu sendiri sebelum memerangi orang lain". Berdasarkan doktrin ini mempengaruhi pula susunan beladiri ini, sehingga gerakan teknik selalu dimulai dengan mengelak/menangkis serangan dahulu, baru kemudian membalas. Selanjutnya disesuaikan menurut kebutuhan yakni menurut keadaan serangan lawan.
| “ | Kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan. Kekuatan tanpa kasih sayang adalah kezaliman. | ” |
| – Doktrin Shorinji Kempo |
Dharma selalu mengajarkan bahwa disamping dilarang menyerang juga tidak selalu setiap serangan dibalas dengan kekerasan. Sehingga dalam ilmu kempo itu lahirlah apa yang berbentuk mengelak saja. Cukup menekukkan bagian-bagian badan lawan, kemudian mengunci dan apabila terpaksa barulah dilakukan penghancuran titik-titik lemah lawan.
Bentuk yang pertama dikenal sebagai
Juho[8] dan yang berikutnya sebagai
Goho[7]. Setiap kenshi diharuskan menguasai teknik Goho (keras) dan Juho (lunak), artinya tidak dibenarkan apabila hanya mementingkan pukulan dan tendangan saja dengan melupakan bantingan dan kuncian.
[sunting]Lambang Shorinji Kempo
Manji telah digunakan untuk tanda Shorinji Kempo seperti yang digunakan dalam Buddhisme selama berabad-abad. Manji memiliki dua arti yang menjadi satu kesatuan yaitu kasih sayang (menghadap-kiri) dan kekuatan (menghadap-kanan) yang melambangkan ajaranKongo-zen.
Namun, penyebaran Shorinji Kempo melalui World Shorinji Kempo Organization (WSKO), itu menjadi penghalang besar untuk digunakan. Dalam hal ini, WSKO telah menggunakan surat 拳 (ken) di pusat Tate-Manji (Manji dijaga oleh perisai) pada lambang atau menggunakan Nagare-Manji yang berarti bulat Manji.
Pada tahun 2005, Shorinji Kempo Group menggunakan tanda baru sebagai simbol baru Shorinji Kempo di seluruh dunia, sebagai satu kesatuan.
Tanda baru ini disebut so-en (lingkaran ganda) dan dikatakan bahwa ini adalah bentuk ekstrim dari sepasang Manji. Tanda so-endikelola dan haknya dilindungi oleh Shorinji Kempo Grup.
Tanda Shorinji Kempo dari tahun 1947-2005
Tanda Shorinji Kempo dari tahun 2005-sekarang
[sunting]Sejarah Shorinji Kempo di Indonesia
Logo Perkemi 2005- Sekarang
Sejak akhir tahun
1959, pemerintah Jepang menerima mahasiwa dan pemuda
Indonesia untuk belajar dan latihan sebagai salah satu bentuk pembayaran pampasan
perang. Sejak itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun
1965, ratusan mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan belajar di Jepang. Tidak sedikit di antara mereka itu memanfaatkan waktu senggang dan liburannya untuk belajar serta memperdalam seni beladiri seperti Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga Kempo.
Sepulangnya ke tanah air, mereka bukan saja memperoleh ijazah sesuai dengan bidang studinya tetapi juga memperoleh tambahan berupa penguasaan beberapa seni bela diri.
Pada tahun
1964, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukkan mahasiswa Indonesia untuk menyambut tamu-tamu dari tanah airnya, seorang pemuda yang bernama Utin Syahraz mendemonstrasikan Shorinji Kempo. Apa yang didemonstrasikannya itu menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya, diantaranya Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita serta beberapa orang lainnya. Mereka lalu datang ke pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri itu.
Untuk meneruskan warisan seni bela diri itu di Indonesia, ketiga pemuda tersebut yaitu Utin Sahras (almarhum), Indra Kartasasmita dan Ginanjar Kartasasmita, akhirnya membentuk suatu organisasi olah raga Shorinji Kempo, yang bernama PERKEMI (Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia) pada tanggal 2 Februari 1966.
Di Indonesia, Perkemi berada dibawah naungan KONI Pusat. Perkemi juga menjadi anggota penuh dari Organiasasi Federasi Shorinji Kempo se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization), yang berpusat di kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.
Sejak tahun 1966 sampai tahun 1976, PB. PERKEMI mengadakan pemilihan pengurus setiap dua tahun sekali. Tapi sejak tahun 1976 sampai sekarang masa bakti pengurus berlangsung selama empat tahun.
Pada tahun 1970 diselenggarakan Kejuaraan Nasional Kempo yang pertama di Jakarta, dan pada tahun 1971 diadakan Kejuaraan Kempo antar Perguruan Tinggi yang pertama. Kempo mulai dipertandingkan sejak PON IX tahun 1977 di Jakarta.
